Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kerap membanggakan program hilirisasi mineral mentah.
Di mana, program tersebut bisa mendatangkan nilai tambah yang lebih besar ketimbang diekspor secara mentah.
Namun, hal itu dinilai salah kaprah oleh Ekonom Senior Faisal Basri menjelaskan bahwa industri benar sebagai penopang perekonomian nasional. Sejarah Indonesia dan negara maju di dunia sudah membuktikannya.
"Hampir tidak ada negara yang sebesar Indonesia bisa digdaya jadi negara maju tanpa industri jadi ibaratnya industri tulang punggung, kalau tulang punggung bongkok jalan lambat," jelas Faisal Basri dalam program Your Money Your Vote di CNBC Indonesia, dikuti Rabu (10/5/2023).
Industri, tambah Faisal akan menjadi optimal mendorong perekonomian berkelanjutan ketika diiringi peningkatan tekonologi.
"Dari tahun 1970 sampai 2020 pertumbuhan teknologi itu, istilah kasarnya total factor productivity pertumbuhannya minus lebih banyak berbasis otot dan keringat ketimbang otak," ujarnya.
"Oleh karena itu riset dan inovasi harus jalan. Tapi bukan substansi risetnya malah organisasi BRIN-nya yang diacak jadi makin banyak salah arah. Oleh karena itu perlu transformasi," terang Faisal.
Faisal mencontohkan soal hilirisasi nikel. Pemerintah telah melarang ekspor biji nikel pada 1 Januari 2020 dan mewajibkan biji nikel agar diolah terlebih dahulu di dalam negeri.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) mencatat, pada tahun 2022 kemarin, realisasi nilai tambah dari hilirisasi nikel mencapai US$ 33 miliar atau setara dengan Rp 514,3 triliun.
Namun menurut Faisal nilai tambah tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sepenuhnya, sebab hanya menguntungkan pengusaha besar.
Bahkan salah satunya devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri. Sementara China yang merupakan penampung nikel Indonesia, mendapat keuntungan besar.
"Yang terjadi kalau hilirisasi biji nikel diolah jadi pig nikel ekspor bukan dijadikan lanjutan industri kita hilirisasi malah menopang industrialisasi di China," kata Faisal.
Seharusnya langkah yang diambil adalah memaksa industri tersebut dari hulu sampai hilir berkembang di dalam negeri.
"Untuk biaya pembangunan kita cuma mengeruk sumber daya alam semakin dalam, China 94% ekspor industri manufaktur Indonesia cuma 40%, sisanya petik jual gak pakai otak," pungkasnya.