Tak hanya diluncurkan di wilayah hukum Polda Metro Jaya dan Jawa Barat, program Polisi RW juga diresmikan di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Rabu (17/5/2023) kemarin.
Kepala Baharkam Polri, Komjen Fadil Imran, mengatakan, program Polisi RW hadir sebagai bentuk atau wujud dari praktik pemolisian modern untuk melakukan pencegahan kejahatan melalui pendekatan dengan masyarakat.
Menanggapi hal itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai bahwa program Polisi RW sebenarnya masih harus diperjelas lebih rinci.
Dia justru melihat program tersebut terkesan menjadi hal yang tidak realistis dan perlu mengeluarkan anggaran besar.
"Ya, terkait Polisi RW itu memang harus dijelaskan secara lebih detail. Apakah polisi RW itu penugasan tambahan bagi personel di fungsi-fungsi yang sudah ada atau pembentukan fungsi baru dengan tugas khusus sebagai Polisi RW," jelas Bambang saat dihubungi Akurat.co, Jumat (19/5/2023).
"Karena apabila itu tugas tambahan maka tentu akan menambah beban kerja bagi para personel yang sudah berat. Namun, apabila membuat satuan baru pasti perlu anggaran yang besar," sambungnya.
Kendati demikian, menurut Bambang, program Polisi RW sudah cukup baik secara konsep. Namun, jangan sampai program ini menjadi alat politis seperti pendekatan Orwellian.
"Meskipun secara konsep seolah baik untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat namun secara ideologis jangan sampai Polisi RW ini menjadi alat politis seperti dalam pendekatan Orwellian, di mana polisi menjadi alat kontrol dan memata-matai aktivitas masyarakat. Apalagi ini kan sudah menjelang pemilu," tuturnya.
Sebagai informasi, Orwellian adalah cara pandang yang dikembangkan oleh George Orwell dalam novelnya yang berjudul 1984.
Dalam novel itu Orwell membuat tema seputar totalitarianisme, pengintaian massa, pengendalian pola pikir dan perilaku dari orang-orang di dalam masyarakat yang dilakukan oleh negara.