Terhitung sejak Selasa, 9 Mei 2023 hingga tulisan ini dibuat, bank syariah kebanggaan pemerintah yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI) masih berjibaku dengan persoalan pelayanannya yang error, baik secara offline maupun online melalui mobile banking. Terbaru, melalui akun instagram resminya, BSI mengumumkan layanan transaksi offline dengan ATM sudah dapat dilakukan. Tapi nyatanya ketika dicoba, masih saja bermasalah.
Mereka yang jadi nasabah BSI dengan gaya hidup cashless benar-benar langsung berasa jadi kere mendadak karena nggak bisa melakukan transaksi via mobile banking. Bahkan di story WA, seorang rekan yang bekerja di salah satu media nasional mengungkapkan kesalahannya karena dalam beberapa hari terakhir harus menyambung hidup dengan meminjam uang THR anaknya karena nggak bisa ngapa-ngapain dengan mobile banking BSI-nya.
Glorifikasi BSI yang berlebihan
BSI sejak resmi berdiri pada 2021 silam, memang tampak sekali diglorifikasi keberadaannya oleh banyak pihak. Khususnya oleh pemerintah dan yang pro pemerintah. Sehingga tampak bagus-bagus aja dan nggak punya kekurangan.
BSI yang embrionya berasal dari gabungan tiga bank HIMBARA yaitu Bank Mandiri Syariah (sebagai induk bank BSI), BNI Syariah dan BRI Syariah memiliki nasabah kurang lebih 17,78 juta dengan dana kelolaan dari Dana Pihak Ketiga mencapai 261, 56 triliun.
Pak Erick Thohir selaku menteri BUMN selalu membranding BSI sebagai sebuah pencapaian negara karena berhasil membentuk sebuah bank syariah terbesar di Indonesia. Asetnya peringkat 6 bila diurutkan dengan bank nasional lainnya dan menempati peringkat 14 di skala global. Peresmiannya saja langsung dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Bangga? Tentu sebagai masyarakat muslim Indonesia saya bangga menjadi nasabah bank syariah terbesar di negeri wakanda ini. Tapi, kebahagiaan itu lama-lama berubah jadi kesel karena merasakan berbagai layanannya yang medioker dan potongan adminnya untuk sejumlah transaksi yang terkesan lebih mahal ketimbang bank syariah swasta, misalnya BCA Syariah atau BNI Syariah (saat masih ada). Selain itu, overglorifikasi kebanggaan yang diterima BSI membuatnya seperti anak manja yang dalam persaingannya “kurang mandiri”. Banggain boleh, tapi jangan berlebihan dong.
Kita lihat sendiri sekarang, sebuah bank yang begitu di-anak emaskan terlihat gagap dalam menangani persoalan yang menyangkut sistem pelayanannya.
Dalih maintenance
Pihak BSI awalnya mengklaim bahwa permasalahan dalam layanan mereka merupakan bagian dari proses maintenance. Tentu saja klaim ini cuma pembelaan. Maintenance apa yang menghabiskan waktu hingga berhari-hari? Bank dalam aktivitas maintenancenya biasanya dilakukan ketika tengah malam saat minim transaksi. Bukan di siang hari di mana transaksi sedang padat-padanya.
Banyak yang menduga bahwa permasalahan yang dialami oleh BSI merupakan bentuk dari serangan siber yang disebut ransomware.
Dilansir dari situs resmi Microsoft, ransomware merupakan jenis perangkat lunak berbahaya, atau program jahat, yang menyerang dengan menghancurkan atau memblokir akses ke data atau sistem penting. Gejala akibat virus ini adalah tidak terbacanya data dari device baik komputer, laptop, maupun handphone.
Serangan virus ini ibarat covid-19 yang menyerang kekebalan tubuh. Ketika kekebalan tubuh diserang akibatnya penyakit lain jadi muncul atau bertambah parah.
Persis seperti yang dialami BSI, seketika seluruh aktivitas mulai dari teller, CS, ATM, dan mobile banking lumpuh seketika. Saya nggak bisa bayangkan bagaimana orang-orang BSI yang bekerja sebagai frontliner harus tahan badan pasang wajah ramah menghadapi keluhan dan umpatan nasabah BSI.
Sistem keamanan cyber di Indonesia masih medioker
Apa yang dialami oleh BSI ini memang bagian dari bencana siber yang harus diakui sebagai ketidaksiapan sebuah institusi komersial menghadapi sebuah ancaman. Bayangkan kalau BSI ini jadi satu-satunya bank syariah di Indonesia. Entah bagaimana nasib kita ini. Mau transfer nggak bisa, mau tarik tunai pindahkan ke bank konvensional juga gagal. Serasa kembali ke zaman batu dengan hidup mengais-ngais kasihan ke orang lain.
Selain itu, kerahasiaan data pribadi seketika terbuka dan berpotensi besar disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan. BSI sebagai bank syariah terbesar di negara Indonesia tercinta ini harusnya merilis pernyataan resmi untuk bersedia mengganti segala kerugian materil dan nonmateril yang dialami oleh nasabah. Itu kalau gentle loh ya.
Tapi lebih dari itu, kalau diingat-ingat, hal semacam ini jadi fenomena template yang sebenarnya kejadiannya berulang. Kasus kebocoran data Tokopedia, jebolnya situs resmi Telkomsel, kebocoran data e-HAC Kemenkes, serta terbaru pada tahun lalu ada data Kominfo yang juga bocor. Semua menandakan sistem keamanan internet di negara kita benar-benar rapuh serapuh kripik emping melinjo yang bisa hancur diremas dengan satu tangan.
Keamanan siber sudah seharusnya jadi perhatian khusus yang dibuatkan masterplan. Harus ada peta jalan yang jelas agar penyediaan keamanan internet di negeri ini lebih aman dan terarah.
Eh tapi sebentar. Bagaimana mau menguatkan keamanan cyber lah wong perkara jaringan internet aja masih belum merata. Bukankah begitu Pak Johnny G. Plate?