Pada momen 25 tahun reformasi ini, Dandik Katjasungkana masih mengingat dengan baik perjumpaanya dengan Petrus Bima Anugerah untuk terakhir kali. Saat itu, pertengahan 1997, Bimo Petrus, demikian rekan-rekannya menyapa, datang ke kos-kosan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di Jalan Jojoran Surabaya. “Untuk mengelabuhi aparat, dia pakai nama samaran Marchell,” kata Dandik, Ahad, 21 Mei 2023.
Bagi Dandik, kemunculan Bimo yang mendadak itu mengejutkan. Sebab, sejak peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Airlangga angkatan 1993 itu tidak ada kabarnya. Pada 1995 Bimo memang ditarik ke Jakarta sebagai Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda SMID pusat. “Setahun tak ada kabarnya, baru itu dia muncul,” kata Dandik.
Kedatangan Bimo Petrus ke Surabaya untuk mengkonsolidasikan teman-temannya yang tercerai berai pasca-peristiwa 27 Juli itu. Mereka berkumpul lagi di kos-kosan Jalan Jojoran awal 1997 setelah meninggalkan rumah kontrakan di Jalan Kedungtarukan Surabaya karena menghindari penangkapan aparat. Setelah berhasil mengkonsolidasikan teman-temannya di Surabaya, Bimo Petrus pamit kembali ke Jakarta.
Dandik, mahasiswa jurusan Sosiologi Fisip Unair angkatan 1990, ialah orang yang mengkader Bimo melalui program pengorganisasian di internal kampus. Menurut Dandik, sejak awal yuniornya asal Malang itu menunjukkan minatnya yang besar pada dunia gerakan. Maka saat dilaksanakan konferensi SMID Surabaya 1995, ia terpilih sebagai Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda tingkat cabang. “Tak lama kemudian ia ditarik ke SMID pusat,” kata Dandik.
Sejak pertemuannya dengan Bimo di Jojoran itu, Dandik dan kawan-kawannya tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Apalagi setelah itu timbul krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis politik. Para mahasiswa pun sibuk menggelar aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto turun.
Pada 12 Maret 1998 Dandik mendengar kabar Herman Hendrawan, rekannya seangkatan di Sosiologi Unair, ditangkap aparat sepulang dari menghadiri konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Dalam konferensi pers itu Herman, yang juga aktivis Partai Rakyat Demokratik serta SMID, menolak Soeharto dipilih kembali sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR 1998.
Dandik juga mendengar selentingan bahwa pada akhir Maret 1998 Bimo Petrus hilang. Namun saat itu Dandik cenderung mengabaikan informasi tersebut. Ia yakin tak lama lagi Herman dan Bimo dibebaskan. “Karena pengalaman yang sudah-sudah, bila ada aktivis yang tertangkap, selang dua hari atau tiga hari pasti dilepas,” ujar Dandik.
Dandik dan aktivis lainnya tenggelam dalam euforia setelah Soeharto menyatakan mundur, 21 Mei 1998. Dandik baru sadar Herman dan Bimo dihilangkan paksa setelah mereka tak kunjung muncul. Padahal, sejumlah aktivis korban penculikan sudah dilepaskan oleh aparat. “Ihwal Bimo, sampai saat ini kami tidak tahu di mana dia diambil, dan oleh siapa,” kata Dandik yang juga Koordinator Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur.
Ayah Bimo Petrus, Oetomo Rahardjo, pesimistis dapat mengetahui keberadaan anaknya. Sebab, selama seperempat abad berjuang melalui jalur hukum, termasuk lewat Komnas HAM, ia tak memperoleh apa-apa. “Kalau lewat jalur hukum rasanya mustahil bisa mendapat keadilan atas hilangnya Bimo. Anda tahu sendiri kan siapa saja yang saat ini bercokol di pemerintahan,” ujar Oetomo saat dihubungi.
Oetomo berujar berusaha tegar karena sejak awal tak pernah menangisi kepergian Bimo. Menurut pria 78 tahun itu penculikan aktivis 1998 termasuk Bimo Petrus, merupakan risiko perjuangan. Namun Oetomo heran setelah rezim berganti tidak ada upaya serius untuk menemukan keberadaan Bimo dan korban-korban penghilangan paksa lainnya.
“Sedikit banyak anak saya punya andil terhadap iklim kebebasan dan demokratisasi yang dinikmati masyarakat saat ini, mengapa hal itu tak dihargai,” tutur Oetomo.