Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2005 -2013, Abdullah Hehamahua menceritakan soal Ketua KPK Firli Bahuri yang pernah dikenakan sanksi hukuman berat tapi bisa tetap jadi pimpinan KPK.
Hal ini dibongkar habis Abdullah dalam tayangan YouTube Refly Harun. Dalam tayangannya, Abdullah awalnya menceritakan tentang Firli Bahuri dalam pembahasan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp349 di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diungkap Menko Polhukam Mahfud MD.
Abdullah pun mengatakan bahwa pada saat seleksi pimpinan KPK, ada kaitannya dengan Komisi III DPR. Firli Bahuri mendapatkan suara bulat anggota Komisi III DPR sehingga menjadi Ketua KPK. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun memilih Firli Bahuri.
"Waktu seleksi pimpinan KPK, beliau ikut seleksi pimpinan KPK sehingga kemudian sampai ke komisi III. Ketika sampai Komisi III, pimpinan resmi mengirim surat ke Komisi III khususnya dan pimpinan DPR bahwa orang ini bermasalah. Tapi sebagaimana kita tahu, bulat suara semua komisi III termasuk teman-teman PKS memilih dia sebagai Ketua KPK," tutur Abdullah dikutip WE NewsWorthy dari tayangan YouTube Refly Harun, Kamis (6/4).
Abdullah pun memberikan jawaban bahwa seorang Firli Bahuri yang pernah dikenakan sanksi hukuman berat tapi bisa jadi pimpinan KPK.
"Karena dia mantan Deputi Penindakan. Jadi dia tahu betul kasus-kasus orang-orang di DPR itu, sehingga kemudian akhirnya orang-orang DPR memilih dia sehingga selesai persoalan," paparnya.
Abdullah pun menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi usai adanya perubahan pada Undang-undang KPK.
"Tapi, kalau Undang-undang KPK tidak diamandemen oleh Jokowi seperti sekarang, itu bisa karena pengalaman pernah terjadi di KPK itu waktu iftar buka puasa di KPK undang dari lembaga-lembaga tinggi termasuk anggota DPR dan kemudian ketika anggota DPR itu hadir kemudian foto-foto bersama, jam 3 pagi dia ditangkap oleh KPK," jelasnya.
Abdullah pun menyinggung bahwa Firli Bahuri yang tak bisa langsung menindak terkait dugaan TPPU Rp349 T. Hal ini menyangkut otoritas tertinggi.
"Artinya waktu itu bahwa otoritas itu ada sama penyidik itu, dia hadir foto-foto bersama itu, tapi jam 3 pagi ditangkap oleh teman-teman penyidik," ungkap Abdullah.
"Nah kalau sekarang dengan undang-undang yang diamandemen tidak bisa lagi karena kewenangan otoritas tertinggi itu bukan di pimpinan KPK tapi di Dewan Pengawas," tambahnya.
Menurut Abdullah, dalam menuntaskan atau mencari jalan keluar atas persoalan Rp349 triliun dan semacamnya, perlunya sistem hukum adat Indonesia.
"Itulah sebabnya maka saya katakan nanti ini pakai sistem hukum adat Indonesia, kemudian ketemu di restoran makam-makam prasmanan atau segala macam ya kemudian salam-salaman ketika foto bersama, selesai cerita," ujarnya.
Lebih lanjut, Abdullah pun mengatakan bahwa dirinya iba dengan rakyat yang justru merasa tertipu akan kelakuan di 'belakang layar' tersebut.
"Nah ini yang saya kasihan kepada rakyat, nanti kemudian mereka merasa tertipu lagi, kemudian seperti 2019 kecewa lagi. Nah itu yang saya kasihan sebenarnya nasib bangsa Indonesia. rakyat Indonesia khususnya ummat Islam akan terulang lagi seperti 2019 kalau nanti terjadi pemilu atau Pilpres 2024," tuturnya.
Abdullah pun mengharapkan bahwa skandal RP349 triliun itu bisa segera selesai sebelum Pilpres 2024 mendatang.
"Saya berharap bahwa itu sebelum 2024 bisa diselesaikan secara adat sehingga tidak terlalu banyak uang keluar sekian triliun untuk Pemilu Pilpres tapi bisa diselesaikan secara lebih konstitusional," pungkasnya.