Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD blak-blakan menceritakan tentang Pemilihan Umum di masa pemerintahan Soeharto. Ia membahas topik para kandidat potensial untuk pemilihan presiden pada tahun 2024, termasuk di antaranya Anies Baswedan.
Hal ini diungkapkan Mahfud MD dalam tayangan YouTube Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam tayangan tersebut, Mahfud MD menyebut bahwa pada masa pemerintahan Soeharto, survei tidak digunakan dalam pemilihan umum dan pemenangnya sudah ditentukan sejak awal karena pemilu pada masa itu sengaja direkayasa. Namun, situasinya berbeda dengan sekarang.
Mahfud MD juga mengungkapkan, tak boleh menyalahkan situasi pemilu saat ini ketika survei digunakan untuk menilai elektabilitas calon pemenang, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
"Jangan salahkan situasi sekarang, nih survei, besok yang akan menang Anies, besok yang akan menang Ganjar, besok yang akan menang Prabowo nggak apa-apa," ujar Mahfud MD dalam tayangan YouTube Masjid Kampus UGM, Senin (10/4).
Lebih lanjut, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu kemudian mengulik era Orde Baru masa lalu yang tidak memperbolehkan penggunaan survei untuk menguji elektabilitas calon pemenang karena Soeharto dan Golkar harus menang mutlak.
"Survei dulu ndak boleh, besok yang akan menang harus Pak Harto harus Golkar kalau dulu, udah diatur semua partainya makanya dulu ada ABG (Abri, Birokrasi, Golkar) itu yang menentukan pemenang," jelas Mahfud MD.
Ia juga mengatakan bahwa sempat membagikan cerita ke PDI Perjuangan (PDIP) terkait Undang-Undang Susunan Duduk (Susduk) pada masa pemerintahan Soeharto.
"Saya kemarin cerita di PDIP begini saya bilang, itu ada kejadian lucu menurut undang-undang Susduk (Susunan Duduk) MPR DPR dan DPRD di tahun 1997," ujarnya.
Dalam undang-undang itu, lanjut Mahfud MD, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) terdiri dari 11 fraksi, dan setiap fraksi harus memiliki setidaknya satu perwakilan dari setiap partai, tetapi pemilihan pada waktu itu tidak adil, dan Megawati Soekarnoputri belum memimpin PDIP, dan pestanya ditipu.
"Disebutkan bahwa DPR terdiri dari 11 fraksi dan setiap partai harus punya minimal satu orang wakil di dalam fraksi itu, tiba-tiba karena pemilunya tidak adil bersemangat nih," ucap Mahfud MD.
"PDI waktu itu dipimpin Suryadi, Bu Mega juga ada masih menjadi bagian dari itu tapi udah pecah, PDI dikerjain," pungkas Mahfud MD.