Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, 50 persen kasus Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) di Indonesia melibatkan anak-anak. Hal ini terjadi dalam kurun waktu dari 2017 hingga 2022.
“Selama tahun 2017 hingga 2022 terdapat 2.605 kasus Tindak Pidana Penjualan Orang di Indonesia. Dari Jumlah tersebut 50.97 persen di antaranya melibatkan anak-anak dan 46,14 persen melibatkan perempuan sebagai korban,” kata Mahfud dalam diskusi publik seputar perang melawan sindikat penempatan pekerja migran Indonesia di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (6/4/2023).
Mahfud menjelaskan, jumlah kasus meningkat setiap tahunnya karena semakin berkembangnya modus operandi. Hal ini terutama memanfaatkan media sosial. Menurut dia, aparat penegak hukum harus paham tentang penanganan TPPO. Pasalnya, sindikat yang bermain dalam kasus ini polanya jelas sehingga bisa ditindaklanjuti.
“Siapa yang mengirim, siapa yang menerima, lalu yang mengurus imigrasi siapa, pegawai imigrasi nya siapa, daftar nya bisa dibuat, ada setoran-setoran itu,” ujar Mahfud seperti dikutip Antara.
Dia menyebutkan, jika ditinjau dari keterlibatan Indonesia atas isu TPPO, Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB dan ASEAN melalui UU Nomor 5 Tahun 2009 dan UU Nomor 12 Tahun 2017. Namun, dari data yang didapat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tersebut menunjukkan, lapisan pemerintah dan masyarakat Indonesia belum kompak dan belum komitmen terhadap pemberantasan TPPO.
Mahfud pun mengimbau Majelis Ulama, Dewan Gereja dan sejenisnya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan bahaya TPPO bagi kemanusiaan.
Adapun rincian kasus TPPO pada tahun 2018 sebanyak 184 kasus. Selanjutnya tahun 2019 sebanyak 191 kasus, dan 2020 sebanyak 383 kasus. Untuk tahun 2021 tercatat 624 kasus dan tahun 2022 sebanyak 528 kasus.
Mayoritas di Daerah Perbatasan
Terkait lokasi, 85 persen kasus TPPO terjadi di daerah perbatasan. Oleh karena itu, daerah perbatasan sangat rentan menjadi tempat penyelundupan PMI nonprosedural.
Data tersebut diambil dari Bareskrim Polri pada 2022 lalu. Aktifitas ini banyak terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara.
“Bahwa jalan-jalan tikus itu ya ada juga. Tetapi sejak saya berdiskusi kemarin justru melalui jalur formal yang banyak dan itu tidak ada yang memberi lampu kuning,” ucapnya.
Khusus di wilayah Kepri, berdasarkan data sejak tahun 2021 sampai 2023, tercatat sudah ada 62 kasus penyelundupan orang dengan tersangka 118 orang dengan korban 546 orang.
Tingginya aktifitas di perbatasan ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan migrasi yang aman. Selain itu, kurangnya pengamanan dan kapasitas petugas adanya oknum petugas dan masyarakat yang membantu penyelundupan PMI secara ilegal.