Pembangunan Masjid Agung Demak oleh Wali Songo pada masa kesultanan Demak Raden Patah diwarnai polemik penentuan arah kiblat.
Bangunan masjid Demak yang disiapkan sebagai tempat ibadah sekaligus pertemuan para wali di tanah Jawa itu sudah berdiri. Namun arah kiblat masjid masih menjadi perdebatan.
Kecuali Sunan Kalijaga, masing-masing Wali Songo memiliki pendapatnya sendiri terkait mana arah kiblat yang tepat menuju Ka'bah.
“Sunan Kalijaga memecahkan masalah, dan arah kiblat yang dia tentukan menjadi sah karena beliaulah yang menentukan berkat wibawa kewaliannya,” demikian dikutip dari buku Wali Berandal Tanah Jawa (2019).
Sunan Kalijaga memiliki gaya penampilan yang berbeda dibanding Wali Songo lainnya.
Penampilannya sangat njawani (sangat Jawa). Ia tidak mengenakan sorban dan jubah sebagaimana kostum Wali Songo lainnya.
Sunan Kalijaga memilih mengenakan busana tradisional Jawa.
Ia selalu mengenakan blangkon, beskap atau surjan dari bahan lurik hitam cokelat dan kain batik.
Gaya busana yang dikenakan itu kemudian baru berkembang pada abad ke-19, yakni sekitar tiga ratus tahun setelah masa hidup Sunan Kalijaga.
“Sehingga barangkali juga merupakan pengolahan tradisi yang relatif modern”.
Perjalanan karir kewalian Kalijaga dibanding Wali Songo lainnya juga tidak sama.
Terlahir dengan nama Raden Mas Said, yakni putra Adipati Tuban, Jawa Timur, Kalijaga pernah berada dalam lingkaran kehidupan yang gelap.
Sebelum bertemu dengan Sunan Bonang dan kemudian berganti nama Sunan Kalijaga atau Syekh Malaya, Raden Said dikenal sebagai begal dengan nama samaran Berandal Lokajaya.
Jalan takdirnya berubah total, yakni bertobat dan sekaligus ditahbiskan sebagai wali setelah gagal merampok tongkat yang dipakai Sunan Bonang.
Dalam pembangunan masjid Demak, Sunan Kalijaga memiliki kontribusi yang tidak kecil.
Salah satu dari empat tiang masjid yang biasa disebut saka guru atau tatal, diyakini sebagai peninggalan Sunan Kalijaga, yakni tiang yang berada di sebelah Timur Laut.
Sementara tiga tiang tatal lainnya merupakan peninggalan Sunan Bonang (sebelah Barat Laut), Sunan Gunung Jati (sebelah Barat Daya) dan Sunan Ampel (sebelah Tenggara).
Pada bagian teras masjid terdapat delapan buah tiang yang biasa disebut sebagai Saka Majapahit.
Masjid Demak yang beratap meru, yakni bersusun tiga dengan bentuk limas (bermakna Iman, Islam dan Ihsan), diperkirakan dibangun pada tahun 1401 Saka.
Hal itu mengacu adanya gambar serupa bulus (jenis kura-kura besar) yang dimaknai sirno ilang kerthaning bumi.
Dalam babad Tanah Jawi dan sejumlah kronik berbahasa Jawa lain, diceritakan Sunan Kalijaga menyelesaikan polemik arah kiblat dengan tenang.
Usai mengambil air wudlu dan melakukan salat malam, Kalijaga berdiri di sisi utara masjid Demak.
Dengan tangan kanan Sunan Kalijaga menggapai Ka’bah. Sementara tangan kirinya meraih mustaka atau puncak atap Masjid Demak.
Konon, begitu Kalijaga memusatkan ciptanya, Ka’bah tiba-tiba muncul menjulang di atas Masjid Demak.
Dengan demikian kiblat masjid Demak telah menghadap lurus ke arah Ka’bah.
Peristiwa karomah Kalijaga itu didengar Sunan Bonang dan sontak memerintahkan semua wali untuk datang melihat sendiri.
“Mereka datang dan melihat sekarang kiblatnya sudah benar. Mereka semua sangat lega,” demikian dikutip dari babad Tanah Jawi.