Dalam laporan yang dirilis Senin (26/12), komisi tersebut mengatakan b
ahwa metode penahanan sebagian besar digunakan terhadap anak-anak dan remaja di sisi timur kota al-Quds yang diduduki di Tepi Barat.
Pihak berwenang Israel, kata pernyataan itu, menggunakan metode tersebut karena memungkinkan rezim pendudukan untuk melewati undang-undangnya sendiri yang melarang pemenjaraan anak-anak di bawah usia 14 tahun.
"Selama dalam tahanan rumah, anak-anak Palestina di bawah umur dipaksa memakai gelang pemantau setiap saat, dan tidak diizinkan pergi ke sekolah atau bahkan klinik tanpa didampingi pengawas," kata badan itu, seperti dikutip dari Presstv, Selasa (27/12).
Dikatakan bahwa pengadilan Israel memeriksa berkas mereka sampai prosedur peradilan berakhir dan putusan dikeluarkan, yang mungkin memakan waktu beberapa hari atau hingga satu tahun atau lebih.
Jangka waktu tersebut tidak dihitung sebagai bagian dari hukuman yang sebenarnya, yang kemudian dijatuhkan terhadap anak tersebut.
Beberapa anak dikeluarkan dari rumah keluarganya dan ditahan di rumah lain di luar kota, milik kerabat atau teman.
Dalam kasus terakhir, sebuah keluarga bahkan terpaksa harus menyewa rumah.
"Dalam kedua kasus tersebut, orangtua sering dipaksa untuk menjual properti atau menggunakan tabungan mereka untuk menyetor sejumlah besar uang ke kas pengadilan (yang mengadili kasus anak mereka) untuk memastikan penerapan persyaratan pembebasan anak mereka," lapor kantor berita Wafa Palestina, mengutip komisi tersebut.
Menurut komisi, kondisi tahanan rumah meninggalkan efek psikologis yang sulit pada anak-anak dan keluarga mereka.
Itu mengutip beberapa efek buruk sebagai perasaan cemas, takut, dan kekurangan yang terus-menerus, yang memaksa anak ke dalam keadaan ketidakstabilan psikologis.
Seorang pemimpin gerakan perlawanan Fatah Palestina mengatakan pada akhir November bahwa rezim Israel menahan ratusan tahanan, termasuk anak-anak, di balik jeruji besi, menyatakan bahwa tahanan kecil menjadi sasaran berbagai bentuk penyiksaan dan petugas penjara Israel memperlakukan mereka sebagai penjahat.
Tahun ini juga terbukti menjadi yang paling mematikan bagi warga Palestina sejauh ini, sejak tahun 2005, ketika PBB mulai menghitung kematian warga Palestina yang disebabkan oleh Israel.
Sejak awal 2022, pasukan Israel telah membunuh lebih dari 220 warga Palestina, termasuk lebih dari 50 anak-anak, di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung, lapor badan dunia itu.