Rakyat sudah murka terhadap Rezim Joko Widodo (Jokowi) yang kebijakannya tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
“Kemurkaan rakyat akan membentuk gelombang tsunami menjadi gelombang dahsyat penggulingan Rezim Jokowi,” kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi kepada redaksi SuaraNasional, Kamis (3/11/2022).
Sutoyo mengatakan, revolusi tidak bisa dipercepat dan tidak bisa ditunda.
Kalau lahar magma gunung amarah rakyat sudah waktunya meletus pasti akan pecah gunung tersebut, lahar akan menyambar dan menerjang ke mana-mana .
“Amarah rakyat akan terbakar dan meletus. Gunung akan meletus dan gelombang tsunami akan datang, revolusi akan muncul, bersamaan dengan lahirnya pemimpin revolusi,” tegas Sutoyo.
Terpantau dari media sosial telah memancing amarah kejengkelan, kepada rezim mengatur negara dengan ugal-ugalan.
“Suara keras dari moncong pengeras suara pendemo, meminta Presiden bersedia menemuinya. Rezim menjauh mendengar aspirasi apalagi dialog dari hati ke hati dengan pimpinan demo,” tegasnya.
Dari baik istana justru terdengar nyaring keangkuhan Jokowi mengatakan: “berapa lama kalian akan bertahan untuk berdemo”.
Presiden keluar masuk melalui pintu belakang istana. Kebuntuan komunikasi antara rakyat dengan Rezim Jokowi menimbulkan percikan api ketidakpuasan dan kekecewaan makin membesar arahnya bisa menjadi bara magma menjelang saatnya lahir gerakan people power atau Revolusi Keadaan bergerak menuju titik terendah, penderitaan rakyat makin meluas.
Rezim putar lidah menakut nakuti (riil memang menakutkan) dengan terus memberi sinyal keadaan akan makin gelap, dengan bahasa yang rakyat tidak semua paham makna arus pengaruh global ekonomi yang terus memburuk.
Pada situasi sulit dan ketika para praktisi, ahli dibidang masing-masing khususnya para pakar ekonomi memberi saran menghentikan proyek mercusuar seperti infrastruktur, IKN agar dihentikan sementara, rezim fokuslah menolong menyelamatkan ekonomi rakyat.
“Sifat pongah rezim justru balik memberi jalan keluar seperti sedang kesurupan, melesat jauh dr rasional dan akal sehat dengan balik memukul rakyat dengan cuap cuap “silahkan tanam singkong, makan keong, enceng gondok”,” ungkapnya.
Kebuntuan memaksa dan terpaksa para pakar sementara tetap di tempat, mengisi waktunya terus berdiskusi teori-teori klasik mengatasi resesi global yang dari satu negara ke negara lain.
“Membahas realitas memang berat bagaimana mengatasi kondisi yang makin mencekam. Sekalipun muncul dengan pemikiran riilnya tetapi masih jauh dari memadai sebagai kekuatan moral mendesak rezim lebih realistis mengatasi keadaan yang makin kritis,” tegasnya.